~* PEMBOHONG *~

TERNYATA DIA..


"Andita... Andita... Andita... bangun, hari sudah mau siang nih." Sahabatku membangunkanku dari lenaku. Kutatap jam dinding di sudut kamarku, waktu telah menunjukkan pukul 07.30 pagi.
"Huam...." Akupun masih menguap karena masih mengantuk.
"Lena, hari masih jam segini lagi. Jadwal kuliah juga masih lama," sahutku sambil menarik selimutku kembali.
"Hai, anak ini bandel amat sih. Shubuh kamu juga telah lewat kan, jam segini mesti dibangunkan." Lena menarik selimutku sambil membawa segayung air, hendak disiramkan ke wajahku.
"Ya habis bagaimana lagi. Semalam aku keasyikan mengobrol sih. Kan, Bang Hasyim meneleponku hingga pukul dua malam." Sahutku malas.
"Astaghfirullah. Andita, enggak bagus lho. Anak gadis menelepon hingga larut malam. Apalagi pada yang bukan muhrimnya. Mana gak tau waktu lagi." Sambar sahabatku.
"Mulai deh, ceramah lagi. Pusing tau," kataku.
"Keras kepala kamu belum juga hilang ya Dit," suara sahabatku melunak.
"Kalau kamu bandel dan tak bisa jaga diri, salah-salah, nanti kamu terjebak dalam arus kesengsaraan kawan." Sambungnya.
"Iya... iya, Bu Ustazah. Saya dengarin omongan kamu itu. Nanti kalau shalat, do'ain aku sekalian ya." Ujarku manja.
Langsung aku bangkit dengan malas, mengucek-ucek mataku kembali. Menajamkan penglihatanku yang agak buram, karena kurangnya tidur semalam.
Semua memanggilku dengan nama Andita. Aku seorang wanita dengan tubuh semampai dan kulit putih bersih. Ah, aku selalu mengagumi tubuh indahku. Yang dijuluki sahabatku seperti bunga edelweis yang langka itu. Terserah orang mengatakan apa tentang aku. Yang pasti, aku menjalani hari-hariku tanpa beban dan bebas dalam bergaul dengan siapapun.
Yang membanggakanku, aku juga bisa meneruskan kuliahku di salah satu kota besar di Nanggroe Aceh Darussalam. Malah, sebagian para gadis dan pemuda di desaku tinggal, bisa bersekolah hingga perguruan tinggi adalah hal yang sangat langka, dikarenakan tempat tinggalku yang terpencil di sudut kota. Orang-orang di Desaku menghidupi diri dan keluarganya dengan cara bercocok tanam, menangkap ikan dan mencari burung di hutan.
Kata orang-orang, aku termasuk orang yang sombong, kurang bergaul, dan selalu ingin menang sendiri. Persetan dengan semuanya. Karena bagiku hal itu tidaklah penting, bergaul dengan orang-orang desa yang ketinggalan zaman itu.
Aku membersihkan diri ke toilet kos-kosan ku. Rumah kos yang aku tuntut pada orang tua ku pun, kuminta yang ukurannya dengan toilet yang harus kinclong, ruang tamu dan ada ruang santainya juga. Aku tak perduli, walaupun orang tuaku mampu membayar mahal untuk itu, yang pasti aku bangga, karena aku termasuk orang berada di kampungku.
Sehabis mandi, aku mengacak-acak lemariku, dan mencari baju apa yang pantas kukenakan di hari ini. Aku cepat bosan memakai apapun. Biar itu baju, sepatu, rok, apa saja aksesoris wanita. Bila aku sudah tak suka, maka aku membelikannya lagi dengan yang baru. Lagipula Ayahku yang seorang Pegawai Negeri di suatu instansi pemerintah yang juga seorang juragan kopi selalu menuruti apa saja yang kuinginkan.
Sahabatku telah selesai berpakaian rapi.
"Ehem. Seperti Ustazah saja bawaanmu Lena," ujarku sambil menunjukkan beberapa helai baju ke arahnya. Aku ingin mengetahui darinya, baju apa yang pantas kupakai hari ini ke kampus.
"Ya, memang beginilah aku, Andita. Hatiku merasa tenang dan tentram, semenjak aku memakai pakaian begini. Lagipula, kehormatanku juga terjaga, bisa melindungi diri dari mata lelaki yang terkadang suka usil." Keterangan sahabatku, kuanggap angin lalu.
"Waduh kawan, tenang dong. Zaman sekarang, mana mungkin lah ada laki-laki yang tipe mau godain cewek elit seperti aku ini. Karena, kalau mereka macam-macam, aku bisa langsung melaporkannya pada amaku, selesai kan." Sambungku sambil memakai pakaian ku yang 'agak ketat'.
"Iya deh, terserah sama kamu, Andita. Aku hanya bisa mengingatkan padamu, bahwa kamu harus berhati-hati dalam bergaul. Karena, melihat cara kamu berpakaian saja, aku risih. Aku takut kamu nanti kenapa-napa Dit." Sahabatku mulai memelukku.
"Iya Len, terima kasih atas ucapannya. Tenang saja. Nanti kalau kenapa-napa, kan ada kamu disampingku." Ujarku.
Setelah selesai beres-beres, kamipun berangkat bersama dari rumah. Aku menyambar kunci mobil innova ku, sambil memasang sepatu yang warnanya kinclong. Dan memperhatikan lekuk tubuhku di depan kaca, melihat korean style ku, dengan sedikit aksen jilbobs yang menurut sahabatku agak norak penampilanku.
 Kamipun berjalan menuju mobilku yang berada di garasi. Sambil memanaskan mobil, kulihat sahabatku Lena, tak henti-hentinya memperhatikanku. Dia merasakan ada yang aneh denganku. Karena aku selalu ceria, tidak seperti dia, yang selalu senyum sana senyum sini setiap berjumpa dengan orang. Dengan jilbab panjang yang kataku model itu sangat kuno dan ketinggalan zaman. Eh, sahabatku bilang, tak mengapa jika dibilang norak. Yang penting hati tenang dan adem.
"Makan itu adem." Kataku sambil menyetir.
Dan kami pun tertawa sepanjang perjalanan menuju kampus. Sahabatku memang tidak gampang sakit hati orangnya, dan juga enak diajak mengobrol. Walaupun dianya sering ngambek karena selalu menceramahiku, siang dan malam. Sampai panas telingaku mendengar ocehannya.
Hingga kami tiba di kampus.

***
Di kampus, aku berkenalan dengan seorang perwira TNI, yang bernama Hasyim. Dia mengaku tinggal di Kabupaten sebelah, yaitu di Bener Meriah. Awalnya, pertemuan kami di sebuah perpustakaan daerah yang terletak di dekat kampusku.
Hingga persahabatan kami menimbulkan benih-benih cinta dihati kami masing masing. Dia mengungkapkan perasaannya sewaktu kami janji bertemu di sebuah kafe. Sambil memandang ke wajahku dan memegang erat dan mencium tanganku, Bang Hasyim mengatakan
"Sayangku, dalam beberapa hari nanti, aku akan datang melamarmu. Bersabarlah ya sayang, karena aku sekarang sedang menunggu persetujuan dari atasan. Karena, aku tak mungkin bisa menikah kalau belum ada izin. Bisa-bisa aku dipecat sayang."
Kata katanya, membuat anganku melayang tinggi dan berbunga-bunga. Bagaimana tidak, dia sangat memujiku, memuji kecantikanku, apalagi ketika aku tak memakai jilbab, dengan tank top dan rok mini. Aku semakin blingsatan dibuatnya. Kekasihku yang terlalu banyak pemberiannya padaku. Belum apa-apa, aku telah diberikan cincin seberat dua gram, dan meyakinkan orang tua dan keluargaku, yang katanya bahwa aku ini adalah calon istrinya.
"Iya sayang. Dita ikut saja, bagaimana abang katakan sama Dita," kataku sambil tersenyum.
"Jadi, bagaimana menurut adik, dengan perjanjian kita sayangku,?"
"Hm, bagaimana kalau mahar dua puluh gram dan uang tujuh juta rupiah?"
"Boleh juga kalau begitu sayang. Nanti bila ada izin dari atasan abang, abang akan langsung datang untuk melamarmu ya sayangku," ujarnya mesra.
"Baiklah, Bang." Lanjutku.
Dan kami pun menghabiskan hari itu dengan memadu kasih asmara berdua di sudut kafe favoritku. Pandangan wajah pengunjung yang keheranan melihat kami, membuatku semakin lupa diri. Cinta telah membutakan mataku. Membuatku melupakan segala-galanya. Pada amanah orang tuaku, nasihat sahabatku, dan semuanya. Aku tak menggubris apapun kata orang tentangku. Yang aku  harapkan hanya ingin terus berdua dan berdua dengan kekasih hatiku.
Lalu Bang Hasyim mengantarku ke rumah kos-kosanku. Kami sampai setelah waktu maghrib tiba.
"Darimana saja Andita?" Tanya sahabatku,Lena.
"Lena dari tadi nungguin kamu, Dit. Ditungguin sehabis pulang kuliah, kamunya tak ada. Lena tadi nyari-nyari kamu." Sambungnya.
"Dari jalan-jalan Lena, bersama Bang Hasyim. Tadi dia menjemputku di pintu gerbang kampus. Dan kamipun pergi bersama. Eh, tau enggak, Len. Bang Hasyim mengatakan, kalau dia mau datang melamarku. Asyik, dan rencananya kami akan menikah di awal tahun depan." Ujarku bersemangat.
"Iya Dita, tadi kalian darimana sih? Dengan pakaianmu yang seperti itu? Waduh, nekat kamu ya Dita. Kamu berdua-duaan dengan yang bukan muhrim.'' Tanya Lena dengan resah.
"Alah, Andita bisa jaga diri kok Len," sambarku.Kemudian Lena berkata sambil berjalan ke arahku
"Andita sahabatku. Dalam agama kita tidak diperbolehkan duduk berduaan dengan yang bukan muhrim. Karena itu bisa mengundang syetan dan awal dari terjadinya perzinahan. Kamu tau nggak, zina itu haram hukumnya." Lena menjelaskan panjang lebar padaku.
"Iya, iya Bu ustazah. Andita mengerti." Langsung akupun ngeloyor pergi berlalu dari hadapannya.
Kemudian aku langsung menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri. Aku terkenang lagi pada kisah tadi, sewaktu berjumpa dengan kekasihku.
"Ah, sayangku. Semoga saat itu bisa secepatnya terlaksanakan. Pernikahan kita".

***

Malam ini, Bang Hasyim meneleponku. Dan kami asyik dengan bincang kami sendiri. Dan janji akan bertemu esok hari, untuk membiacarakan tentang lamaran dan hal lainnya.
Aku tak lagi memikirkan bagaimana kuliahku besok, tugas dari dosen yang belum sempat aku kerjakan. Dan akhirnya sahabatku juga telah malas untuk selalu menegur dan menasehatiku. Mungkin dia capek padaku, karena aku terlalu keras kepala. Akhirnya sahabatku dengan aktifitasnya di Mesjid dan pengajian, dan akupun dengan aktifitasku sendiri, meskipun kami satu rumah. Hingga menjelang waktu shubuh kami tak hentinya mengobrol.
Dan shalat Shubuh ku tentu lewat.

***
Paginya, aku pun terbangun pukul delapan pagi. Kulihat sahabatku Lena, sedang shalat dhuha. Aku beringsut dari kamarku menuju ke toilet dan membasuh muka.
"Wajah ini... kenapa tak pernah tersentuh air wudhu." Gumamku dalam hati, sedikit ada perasaan bersalah dan menyesal di dalam hati. Atas tindak tanduk hidupku selama ini. Namun karena nafsu dan keegoisanku, menjadikan pribadiku yang acuh tak acuh terhadap sekitar.
Aku langsung mandi. Dan berharap secepatnya bisa bertemu dengan pujaan hatiku, Bang Hasyim. Karena kami berjanji kopdar di Desa Ratawali, Bener Meriah.
Sehabis membereskan segala sesuatu, akupun kemudian menstarter innovaku. Dan menuju ke sebuah desa cantik dan dikelilingi bukit di Kabupaten sebelah. Aku mengajak Lena untuk ikut serta, namun dia menolaknya. Karena kegiatan di kampus menumpuk, akupun akhirnya pergi sendirian kesana.
Sampai disana, aku melihat arjunaku sedang duduk di taman seorang diri.
"Sudah lama bang,?" tanyaku.
"Lumayan, hampir membeku abang disini menunggumu, sayangku." Sahutnya mesra. Aku langsung duduk tepat disampingnya. Kamipun mengobrol lama dan tak menghiraukan waktu yang telah dilalui.Memandang perkebunan kopi di Lembah Pantan Terong.
Lalu aku dibawa Bang Hasyiml menuju ke rumahnya, di Desa Ratawali. Katanya sedang tak ada orang di rumah. Aku melihat arloji di tangan kananku, tepat pukul sembilan malam. Aku sempat kaget karena rupanya hari telah malam. Obrolan kami tak pernah habisnya, rasanya dunia ini hanya milik kami berdua.
Di dalam rumah Bang Hasyim, aku langsung ke dapur dan hendak memasak, namun Bang Hasyim tak mengizinkan. Karena rupanya beliau telah membeli dua buah nasi bungkus untuk kami berdua. Kamipun langsung makan di dapur dan sambil bercanda.
"Ayah, Ibu dan keluarga abang yang lain kemana bang,?" tanyaku sambil menyuap nasi.
"Mereka semua pergi ke Rumah Sakit, Dik. Ayah Abang sedang dirawat di Rumah Sakit sekarang," jawab kekasihku.
"Oh, terus, adik kerumah abangni, apakah tidak kenapa-napa Bang,?" tanyaku lagi.
"Ya enggak lah dik. Tenang saja. Kan ada abang sayang disini." Meyakinkanku sambil memegang erat tanganku. Akupun langsung mengangguk setuju.
Setelah makan, kami berdua langsung duduk di ruang keluarga. Menonton televisi. Akupun mengacak-acak acara yang kebanyakan tidak aku sukai. Semuanya tentang pesawat Air Asia yang jatuh tenggelam di Pulau Kalimantan itu.
Merasa jenuh, akupun mulai mengantuk. Jam di dinding telah menunjukkan pukul sebelas lewat. Sudah hampir tengah malam. Kekasihku duduk tepat disampingku, tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Tiba tiba...
BRAK....
Suara pintu rumah kekasihku di dobrak orang. Rupanya ramai sekali orang di depan rumah. Aku tersentak kaget, begitu pula Bang Hasyim. Terdengar teriakan orang-orang di luar sana, juga salah satu warga desa yang menerobos masuk rumah.
"Oh, jadi begini ya kerja kalian .Pantesan dari tadi ini cewek enggak keluar lagi dari rumahmu Hasyim," teriak seorang pria berperawakan sangar tengah membentak kekasihku.
Aku tertunduk malu. Tak berani menatap wajah wajah beringas itu.
"Tidak bang, ini tidak seperti yang abang kira." Jawab kekasihku.
"Alah.. sudahlah. Tak usah kau berkelit, Hasyim. Kamu telah kami tangkap disini, di rumahmu sendiri. Dari sore tadi kami terus memantaumu bersama aparat desa. Untuk apa kamu berdua-duaan bersama yang bukan muhrim? sedangkan kamu belum menikah. Ingatlah Hasyim, orang tuamu sedang berada di Rumah Sakit. Bagaimana kalau nanti mereka tahu akan hal ini,?" sambungnya.
"Kami tak melakukan apa apa, pak. Bang Hasyim hanya sebatas memegang tangan saya." Jawabku membela diri.
"Sudahlah. Kami semua tak percaya lagi sama semua alibi kalian. Yang pasti, kalian sekarang akan kami serahkan pada penegak hukum." Sambut yang lain.
Tiba-tiba salah satu warga menarik kasar tanganku.
"Sini kamu, perempuan rendahan. Kamu harus kami beri pelajaran." Seorang Ibu muda berteriak padaku.
"Iya, dia harus kita pukuli sampai mati," sahut warga yang lain.
"Jangan bu. Jangan. Ampuni saya. Jangan lakukan itu pada saya. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Sahutku ketakutan. Akupun menangis dan merasa menyesal. Karena telah lupa waktu dan hampir lepas diri. Akupun merasa begitu rendahnya harga diriku di depan khalayak ramai seperti ini. Akupun seperti pasrah dengan apapun kata warga desa.
"Sudah, sudah. Ayo kita antar anak ini dan Hasyim ke rumah Bapak Imam desa kita. Biar aman." Seru suara seorang Bapak dengan lembut. Sepertinya Bapak ini adalah seorang tokoh yang dituakan, pikirku.
Akupun digiring beramai-ramai kerumah Bapak Imam desa tersebut, dan aku masih menangis. Teringat pada Lena, sahabatku. Aku yang tak pernah memperdulikan segala nasihatnya, akhirnya harus terjerumus juga ke lumpur dosa ini.
Aku ditanya habis-habisan oleh semua warga. Dan, yang paling mengejutkan, kekasihku yang dari awal perkenalan kami yang mengaku seorang tentara padaku, ternyata dia adalah seorang penarik becak. Tuhan.. betapa lemas lututku mendengarnya .Seorang yang kubangga-banggakan selama tiga tahun ini, ternyata adalah penipu. Dia telah menipuku dan keluargaku. Dan aku telah terjerat dalam semua cinta palsunya.
Ya Allah, aku menyesal, aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Karena aku terlanjur hamil saat ini, karena keteledoranku. Dan aku harus menikah dengan pria supir becak yang mengaku tentara itu. Berita yang kualami secepat kilat diterima keluarga dan sahabatku semuanya di kampus. Bagaikan disambar petir, orang tuaku tak percaya atas peristiwa yang kualami. Ibuku sampai berkali-kali pingsan. Karena nama baik keluargaku telah tercoret jelas. Dan akupun menyesal.
Untung tak dapat kuraih. Malang tak dapat kutolak. Nasihat dari orang tuaku yang tak pernah kugubris;
“Anakku, ike i tunung ko kase ling ni jema tue,
Insya Allah langitmu gere mu gegur, bumi mu gere mu guncang.”
(Anakku, bila kau turuti nasihat orang tua,
Insya Allah langitmu tiada petir, bumimu tiada berguncang)

Dan aku menyesal. Karena terlena oleh segala rayuan maut dan segala janji manis yang diucapkan kekasihku, Bang Hasyim.

Kenawat Lut, 02 Januari 2015.



Data Diri:

Nama: AMNA YUNDA
Alamat: 
Desa Kenawat Lut, dusun paloh.
Takengon, Aceh Tengah.
Pekerjaan: Wiraswasta, Karyawan Aceh Tengah Development Communitte.


(RIKOKETA)


RESAH


NYANYIAN SANG ARJUNA

Dalam sunyi yang terlukis di kanvas maya.
Terdengar di kejauhan merdu suara sang arjuna
Menyanyikan aksara dalam kabut aksara
... Mendendangkan sejuta ingin di hati kita...

Suara itu menjemput aku.. kau... kita
Berjeda-jeda antara mimpi dan nyata
Meski basah gemanya dalam dingin gerimis
Namun masih nadanya menyentuh manis

Sungguh ...
Sunyi itu adalah lantun hatimu,
Menerjang di ruang-ruang kosong dalam jiwaku
Dan indahnya adalah saat hembus bisikmu,
Memenuhi ruang-ruang itu.


*Kenawat Lut,02 Januari 2015.
Pin:7f9f44c4.