* BUTIRAN DEBU *

BAGAI SEBUTIR DEBU

Aku adalah secangkir kopi ,
Pahit atau manis terserah caramu meracik,
Dan terserah kau tempatkan aku dimana selayak anganmu.

Kadang aku lari dari lingkaran,
Bukan tak tahu,
Aku hanya ingin membuat garis lebih berwarna,
Meski harus mencuri beberapa makna,
Itu saja.

Jarak adalah deras air mataku,
Merindu raga senyum yang tak pasti,
Dan tiada harga selain kembali,
Maka datanglah.

Jalang mataku berpetualang,
Gundah singgahi setiap derai,
Tangis jiwa dilebur sesal,
Entah niscaya raga berpagut,
Aku mencarimu.

Berpura acuh memandang bunga,
Kumbang mengulum putik sarinya,
Mekar disayang hilang berpandang,
Menyesal raga tak memetiknya.

Menghiris pilu detak-detak karma,
Menghiba sukma rela bersenda,
Gelisah Deras menghujam raga,
Rindu memaksa mimpi di reka,
Ya...aku resah.

Aku tak bermaksud melupakan,
Hanya aku tak mau menitipkan hati pada keraguan,
Sudahlah !

Kadang aku berharap senandung dari sang jingga,
Meski pelangi tak lagi merona,
Entahlah..
Bahkan senja enggan bersenda.

 Senyummu
 Sejatinya aku tak sanggup untuk menggapaimu
 Tapi senyum tulus yang pernah kau suguhkan
 Membuatku terlena dalam kesederhanaan rayumu yg nyata
 Bahkan aku sulit mengungkap kata
 Kala bayangmu senantiasa menjelma.

 Kadang cemburu menorehkan luka di tiap riaknya,
 Tapi aku ingin membawa raga ku menuju tangismu,
 Diam pada muara kerinduanmu.

 Tak perlu kau eja butir rindu yang ku semai,
 Tak cukup usiamu untuk merapal angka,
 Dekaplah...dan bukan sekedar do'a.

Aku melihatmu bagai syair yg indah,
Bingkailah..
Atau cukup saja puisi itu kau simpan di hatimu,
Sampai aku datang mengejanya.

Sebaiknya kau mencari pengeja yang handal,
Agar tak tersesat oleh bait puisi yang ku kirim untukmu,
Tentang rinduku.

 Bagaimana kau mengerti cinta,
Jika pelangi tak kau beri warna,
Aku tak lari dari nyata,
Kau jingga yang hilang dari senja.

Aku ingin menjadi daun.
Yang membuatmu nyaman jika berteduh.
Kalaupun aku harus gugur.
Aku ingin jatuh ke pangkuanmu.

Saat puisiku kehilangan satu kata,
Adalah kau penggenap tangis dan tawa hingga syairku bernyawa.

Mengayun kata dari lipatan do'a,
Adalah nadi dari tiap aliran darahku
Yang merambat menjadikannya puisi kerinduanku,
Tentangmu.

Hening adalah caraku mencipta rindu,
Diam adalah caraku mengingat dirimu,
Dan do'a adalah caraku untuk membahagiakanmu..

Dari hening yang tercipta
Ada bias bayangmu indahkan panorama,
Aku menikmatinya meski itu fatamorgana.

Hujan ... akhirnya turun juga,
Di saat pelangi enggan memadukan warna,
Kala kemarau menjelma tanpa senda.

Hampir saja aku jadi debu,
Manakala bara kian memerah,
Pucatkan sukmaku seakan tanpa darah.

Basahi semak kering dalam hatiku,
Sirami belukar jiwaku yang kian gersang.

Dengan tinta air mata ku tulis syair tentang cinta
Curahan dari dalam kalbu
Agar kau tahu perihnya merindu.

Berapapun jarak yang akan kita tempuh...
Itu bukan masalah...,
Pertanyaannya adalah...
Mampukah kita melangkahkan kaki yang pertama.

Senja di perjalanan,
Dan lagi ku tuliskan rindu di tiap kilometernya,
Berharap kamu lah yang akan membacanya.

Penyair-penyair salon berkeliaran.
Pandai bersolek padahal mukanya becek,
Kata-katanya intelek padahal hasil mencontek.

Ada cara benar untuk menjadi besar.
Kau tak perlu berkeliar dari selasar ke selasar
Untuk mencuri puisi berlembar-lembar.

Pucuk pucuk puspa seakan layu,
Merelakan diri untuk gugur dari rantingnya,
Ranting yang angkuh meski rapuh.

Berandaku sepi tapi ada hujan yang setia menemani,
Hanya saja taman itu sekarang kelabu,
Mungkin menahan diri dari isak rindu.

Peluh peluh melinang samar menjadi gelinjang ragu,
Bisu pada ingin yang enggan menggugu,
Ketahuilah... jika aku merindu.

Aku menjadikan gelap sebagai teman,
Dimana dalam pekatnya
Kutemukan bayangmu yang menari di benakku.

 Tak adakah "kata" yang bisa ku ajak bermain sajak hari ini,
Atau segurat pena yang bisa kujadikan puisi untukmu.

Kantukku semalam masih meringkuk,
Berselimut puisi setengah jadi oleh sebab hujan mengetuk.

Ini sebuah fase untuk memisahkan milanisti gabah dan milanisti padi.
Kritik boleh, tapi jangan sampai memaki.
Tegakkan kepala!

Matahari mendiami secangkir kopi,
Hangat menjalari sekujur hati.
Yang menggigil dihujani pagi.

 Puisiku hanya serpihan hati yang terluka,
Teruntai saat asa pupus dalam kalbu.

 



















 


Salamku ari tanoh gayo.
Semoga berkenan di hati.

                          

Ainiya Faida Azmi.


^_^

Tidak ada komentar: