~* SYAIR SANG MAWAR *~

DERITA SANG MAWAR 


Seikat kerinduan ini,
Ku tautkan jauh di titik sepi.
Di dasar hati....
Di antara samudera warna.

Mawar biru...
Kutitip padamu tentang rinduku,
Kabarkan padanya tentang perasaanku.

Mawar biru...
Kisahkanlah pada angin.
Tentang sepatah kata yang tak pernah terucap,
Sedang hati menyimpan berjuta teriak.

Mawar biru...
Dengan birumu,
Ku harap embun tau.
Kau adalah ungkapkan inginku.

Warna birumu...
Warna hatiku.
Warna ketulusanku...
Arti kesetiaanku.

Dengan seikat pesonamu..
Ajarkan padanya.....
Tuk mengerti arti ketulusan...
Makna kerinduan.

Mawar biru...
Setia hati selalu menunggu,
Bertemu embun penyejuk kalbu.

Mawar biru ...
Apakah embun itu tau perasaanku......?


Takengon,
23 Februari 2014.
******

EMBUN DI MAWAR MERAH


Dari mekarnya kelopak mawar merah
Kutemukan arti dari sebuah gairah.

Dari tetesan embun didaun hijau
Kudapati kesejukan rasa rindu.

Pada hangatnya mentari pagi
Kurasakan kedamaian bersatunya hati.

Dari pergantian panas kepada hujan
Kusadari indahnya suatu perbedaan.

Keinginanku untuk menjumpainya
Sama dengan keinginan anak burung, tuk mengepakkan sayapnya.

Keinginanku tuk memandangnya
Sama dengan keinginan kelelawar, tuk segera bertemu malamnya.

Keinginanku tuk memeluknya
Sama dengan keinginan induk ayam tuk menjaga anaknya.

Keinginanku tuk mendapatkan kasih sayangnya
Sama dengan keinginan tanah kering tuk mendapatkan hujannya.

Kesedihanku saat ditinggalkan
Sama dengan kesedihan peladang yang kehilangan awan.

Kecemburuanku saat diduakan
Sama dengan kecemburuan bintang saat tertutup awan.

Kegelisahanku saat merindukan
Sama dengan kegelisahan bayi yang ingin mendapatkan susuan.

Kesetiaanku tuk menantinya
Sama dengan kesetiaan cicak mengintai nyamuk.

Keyakinanku tuk mendapatkannya
Sama dengan keyakinan air menuju samudra.

Kejujuranku tuk menyatakan rasa
Sama dengan kejujuran titik air kepada pelangi.

Dan….
Semua yang berkecamuk didiri ini kupasrahkan
Pada kekuasaan dan keridha’an Illahi Rabbi
Semoga Allah mengabulkan do’a dan keinginanku ini.

Takengon,
23 Februari 2014
Ainiya Faida Azmi 

*******

PERI BIRU DAN MAWAR BIRU


Peribiru berlari di taman istana. Bunga-bunga bermekaran di sana. Hujan baru saja membasahi bumi. Tumpah ruah airnya seperti sebuah guyuran satu bak ember air ke sebuah pot bunga kecil. Genangan air masih membasahi tanah yang becek. Kotor. Air berkecipakan di lompat kodok yang bersuka ria meloncat diantara genangan. Bubur tanah menjadi lumpur yang mampu menodai baju.
Peribiru tak mempedulikan semua itu. Ia berlari. Ia sesungguhnya tak menyukai hujan.tapi kali ini hujan tampak begitu romantic baginya. Pohon tampak lebih hijau setelah diguyur hujan. Bunga-bunga tampak lebih berwarna diguyur hujan. Air seperti berlaku sebagai fungsinya. Seperti sebuah lukisan dalam crayon pensil warna yang dioleskan iar sehingga tampak lebih hidup. Warna lebih cerah dan tampak sangat basah. Ya, sangat basah oleh air.

Peribiru berlari menghampiri bunga-bunga bermekaran. Ada melati, bunga kertas, tulip, dan mawar. Semua berwarna dan begitu cantik. Putih, merah muda, kuning, merah, dan biru. Di dekatinya sebuah mawar berwarna biru. Biru seperti langit saat selesai hujan tanpa awan. Bisa kau bayangkan bagaimana indahnya? Sangat cerah. Seperti terlepas dari beban awan hitam yang mengelayut manja di sana. Seperti terbebas dari sebuah ikatan rantai yang mengekangnya. Biru itu tampak bebas. Tak bersedih. Dan bahagia.
Peribiru mendekatkan jemarinya pada mawar biru itu. Ia ingin merasakan lebih dekat biru yang mampu dirasakannya saat ia melihat mawar itu. Rasa yang sama untuk langit. Tapi tiba-tiba “ouch”. Tangannya terluka. Ia terlalu tergesa-gesa menggapai tangkai mawar itu. Ia tak menyadari ada sebuah tangkai kecil tajam di cabang pohon kecil itu. Jemarinya berdarah. Setetes merah menitik pada bunga mawar biru itu. Birunya tampak lecet.Seperti ada noda disana.

Luka itu kecil. Namun sangat sakit dijemarinya. Ditariknya segera lengannya dari pohon mawar itu. Diurungkannya niatnya untuk memetiknya. Jemarinya masih berdarah. Dirasakannya sakitnya. Tak serta merta dijilatinya luka itu. Kecil memang. Tapi sakit. Dibiarkannyadarah mengalir perlahan. Dibiarkannya dia menyerap semua sakitnya. Di netralkannya semua darahnya. Diikutkannya sakit itu dalam perih darah yang keluar diujung jemarinya.

Air matanya hamper tumpah. Namun tetap ditahannya. Rasanya cengeng untuk sebuah luka sekecil ini. Namun sudut matanya tak sanggup untuk menahan air mata itu. Ada bulir air bening yang mengalir di pipinya. Rasanya tak tertahankan. Jemari lukanya menjangkau bibirnya. Jemari lukanya merasakan hangatnya lidahnya. Dijilatinya perlahan. Ada rasa serupa besi karatan diujung lidahnya. Perih sesaat. Namun ia tak lagi merasakan apapun. Hanya sisa air mata yang terasa lengket di pipinya.

Ia berlari menuju perpustakaan. Ada air pancuran di tengah hallnya. Dibasuhnya mukanya. Mengapa tiap sedih selalu beriringan dengan air mata. Ia menanyakan sakit itu. Ia membongkar buku perpustakaan. Mencarinya dalam buku peta tubuh, saraf, dan rahasia anatomi. Namun tak ditemukannya jawabannya.
Bagaimana rasa mampu memantik sebuah gerak biologis tubuh. Ia berlari mencari kakek penyihir. Tapi tak ditemuinya di dapur ramuan. Dia merenung di kamar. Dikamar menara. Dilihatnya hujan kembali tumpah. Memandikan bumi dan segala isinya. Ia masih berpikir. Ia masih merenung.

Jika ada hujan tentu akan ada matahari. Jika hujan terus maka bumi akan kelebihan air. Perlu ada matahari untuk menyerap kembali air yang tak terserap oleh bumi. Matahari perlu menguapkan kembali genangan air itu. Seperti itu pula sakit dan sehat. Sedih dan bahagia. Selalu ada opposite yang menjadikan mereka imbang. Karena jika salah satunya tak ada maka neracanya takkan seimbang. Dan dunia pun akan sedikit lebih berat.

Mengapa ada duri di tangkai mawar itu?

Ini sebuah penjelasan lain dalam definisi yang sama. Selalu ada keburukan dari sesuatu yang indah. Tak ada sesuatu yang begitu sempurna. Tak ada yang tak memiliki celah. Semua perlu memiliki celah agar ia bisa mengabsorsi dan melepaskan. Duri itu pun sebuah bentuk tameng kecil bagi sang mawar. Tak semudah itu memetik sebuah keindahan. Selalu ada harga yang harus dibayar. Agar seseorang mengikuti aturan atau berhati-hati. Bertindak bijak adalah sebuah kalimat yang lebih tepat.

Jika terlalu gegabah, durinya bakal menusuk. Perlu kehati-hatian dalam memetiknya. Peribiru memikirkan ini lebih dalam. Ia mencari pesan kuno yang selalu ditinggalkan oleh ibunya. Ibu mengajarinya dengan sangat baik. Namun terkadang ada bahasa yang perlu ia simpulkan lagi. Ibu tak pernah tersurat menyampaikan pesan. Selalu ada makna symbol yang perlu ditebaknya. Ia harus kembali menarik deduksi dari induksi yang begitu banyak. Perlu menarik akar makna dari pohon-pohon kehidupan.

Peribiru memahami bahwa dunia adalah mozaik indah yang penuh keragaman. Dan dari sesuatu yang indah itu juga ada sesuatu yang tak begitu indah. Mereka saling melengkapi. Pendefinisian itu pun bergantungan pada individu. Sesuatu itu tetaplah sesuatu sampai seseorang meletakkan nilai padanya. Ini baik dan ini buruk. Ini indah dan ini jelek. Pada akhirnya definisi adalah sebuah ciptaan yang lahir dari rekonstruksi manusia.

Namun definisi perlu untuk memahami sesuatu. Mencari gerak hendak kemana dan bagaimana ia berubah. Dan seperti itu pulalah mawar dan duri itu. Peribiru mendefinisikannya seperti itu. Ia mungkin masihlah kecil. Masih banyak duri yang perlu di maknainya. Perlu dirasakan sakitnya. Hidup bukanlah keseimbangan nyata yang hadir begitu saja. Hidup mengikuti gerak alam yang juga terus berubah. Ia hanya perlu belajar berhati-hati. Menimbang secara bijak tiap langkah. Dan tak cengeng pada darah yang keluar.
Saat ini peribiru begitu rindu dengan kesatria putih. Ingin rasanya kembali bertualang bersamanya lagi.

*******
DALAM TANGIS SANG MAWAR

Aku termenung menatap senyum tergores diraut wajah 2 insan yang menanti mawar birunya merekah menebar keharuman yang semerbak. 
Kadang terlintas dibenakku, 
Menanam mawar itu dikebun hatiku. 
Merawatnya dan menyaksikannya mekar 
Membawa sejuta tunas kebahagiaan yang selalu ku damba. 
Perlahan ku semai benih yang ku petik darimu. 
Ku tanam dalam dinginnya kesendiriannku.

 Berharap hangatnya senyummu membawa kehidupan bagi mawarku. 
Mawar biruku kini telah tumbuh, 
Membuaiku dalam sejuta angan yang tak pernah ku bayangkan. Inginku bagi bahagia ini denganmu, 
Seseorang yang membawa hangat bagi mawarku. 

Namun kemana hangat senyum itu sekarang? 
Kau bawa lari, dan meninggalkan bekas yang teramat dalam. Sayap-sayap ku rapuh saat bayangmu mulai menjauh. 
Tak bisa lagi aku merasakan hangatnya mawar biru itu. 
Kini mawar biruku telah layu.

*******

MAWAR ITU.....


Sekuntum bunga berwarna merah muda. 

Sudah tak begitu indah karena goresan pisau sang empunya. Tergeletak di atas meja bundar di tengah ruang tamu. 
Tanpa terencana, Sang empunya pun kadang membeberkan betapa indah dan cantiknya bunga itu. 
Sang mawar pun merasa bahagia karena keberadaannya diakui. Sang empunya pun merawat dengan baik, 
Selalu diberinya air agar tetap hidup dan segar. 
Dan semua itu sangatlah cukup bagi sang mawar, 
Walau kadang air penyegar itu terlambat diberikan oleh empunya.

Suatu ketika, seorang pencinta mawar pun menghampiri ketika sang mawar telah hampir layu karena keterlambatan penyejuk. 

Pencinta mawar itu memberikan percikan penyejuk. 
Namun air yang diberikan itu ternyata menyegarkan hanya pada tampilannya, aslinya pun tak tahu. 

Entah menyejukkan atau bahkan akan meracuni sang mawar? 
Dan air itu pun diberikan kepada bunga lain. 
Dia tak tahu bahwa itu sangat menyakitkan bagi para bunga. 
Sang mawar pun memilih air dari empunya, 
Walau pun kadang keterlambatan itu menyiksa, 
Namun dalam sakit penantian itu ada nilai-nilai yang akan bermakna bagi sang mawar. 
Dan itulah yang akan membuat sang mawar semakin indah.