~* DI KOTA PETRO DOLAR *


 ROMANSA DI KOTA PETRO DOLAR




Aku dilahirkan oleh seorang Ibu yang tegar, yang kuat, yang cantik, yang penyayang anak-anaknya, yang menjadi kembang desa, yang selalu adil.I buku keturunan suku Jawa dan Gayo. Dan seorang Bapak yang penuh wibawa, agamis, pintar, gagah, dan penyayang pada kami, anak-anaknya. Bapakku seorang keturunan Gayo asli. Yaitu dari Kutacane dan Blang Kejeren. Walaupun keturunan ulama dan orang terpandang di negeri Gayo, Takengon dan sekitarnya, namun Ayahku tak pernah membusungkan dada.
Beliau selalu mengajari kami akan arti "HIDUP SEDERHANA".

Di kota Petro Dolar inilah, aku dibesarkan. Dan selalu mengajari ku, akan arti Islam sesungguhnya.

Indahnya perjalanan hidup yang kualami, semua berawal disini. Hingga Bapak ku wafat, ketika aku duduk di kelas 3 SMK. Hidupku serasa hancur, aku tak ingin bersekolah lagi. Karena telah kehilangan sosok seorang Ayah. Padahal disaat itu, aku masih membutuhkan kasih sayang nya, aku yang selalu merindukan tausyiahnya, setiap habis shalat maghrib.
Alhamdulillah, aku mempunyai sahabat-sahabat yang sangat baik hati. Hingga aku bisa menyelesaikan sekolahku dan menjadi predikat tertinggi. Setahun sehabis aku tamat SMK, aku sekeluarga pindah ke kota dingin Takengon, karena permintaan dari keluarga dari pihak Ibu dan Bapakku. Hingga kini, aku masih bertahan di Kota Dingin.

***

 
Aku merindukan suasana rumah dulu... dimana aku sekeluarga biasa bercanda ria.
Aku merindukan tawa dan canda sahaba- sahabatku semua nya.
Aku merindukan sosok ustad, ustadzah yang mendidikku.
Aku merindukan sosok Ibu dan Bapak Guru ku semuanya.
Aku merindukan semuanya.

Perasaan menggebu-gebu itu, kusimpan hingga belasan tahun lamanya, hingga tak terbendung lagi, pada akhirnya, hari Jum'at, 20 Juni 2014, aku bersama keponakan ku Pinte, berangkat ke kota Lhokseumawe.
 Rencana perjalananku ke sana dari tahun-tahun kemarin, selalu gagal. Namun baru kali ini terwujud, setelah 13 tahun, aku meninggalkan kota dimana aku dibesarkan.
Aku berangkat pukul 11.30 WIB. Alhamdulillah,kami sampai pukul 16.30 WIB sore, di desa Batee Timoh, Krueng Geukueh- Aceh Utara. Huuft.... capeknya perasaan, berganti senang. Karena, aku telah menginjakkan kaki lagi disini, di rumah sahabat SMP ku dulu, Sri Jarwati. Kami pun dilayani dengan baik, begitu sampai disana.
Malam pertama kedatangan kami, aku dan keponakanku tidur di rumah Sri. Banyak cerita seperti  tak pernah habis hingga larut malam. Pukul 23.30, mataku pun mulai mengantuk berat, tak sanggup lagi mendengarkan cerita mereka. Setelah melaksanakan shalat Isya, akupun mulai berbaring di tempat tidur.
Sri memanggilku.
"Na... sini lah.. kita cerita-cerita dulu." Panggil sahabatku.
"Waduh... Na capek banget buk.. maaf banget ya. Na tak sanggup melek berlama-lama".
"Oh... iyalah, silahkan Na.. istirahat terus ya," kata Sri.
"Oke... " Sahutku.
Dan aku pun terhanyut sambil mendengarkan celotehan Dewi (adiknya Sri), Fikar (anaknya wawak si Sri). Aku pun agak cekikikan mendengar cerita mereka, karena mereka super lucu bin gokil. Hmm.... tapi mataku keburu 5 watt, tak bisa diajak kompromi lagi nih. Dan akupun tak ingat apa-apa lagi. Alias tertidur.

***

Azan pertama waktu shubuh, aku pun terjaga. Kulihat arloji di tanganku, pukul 4.50 WIB pagi. Aku yang terbiasa bangun pada jam segini, tak bisa lagi untuk tidur. Aku pun bangkit, dan melipat selimut, lalu masuk ke toilet, bersih-bersih, ambil wudhu, lalu akupun ke kamar, untuk shalat shubuh.
Selesai shalat, ku buka layar jendela, kulihat hari masih gelap.
"Kok belum ada satu orang pun yang bangun ya,?" ujarku dalam hati.
Lalu akupun mengaji. Mengaji surat Ar Rahman, sebagai penyambut hari, dan beberapa surat yang lain.
Waktu menunjukkan pukul 06.00, karena belum ada yang bangun tidur, ya sudahlah... akupun langsung menuju dapur, dan mulai beres-beres. Mulai aktifitas rumah tangga, seperti menyuci piring makan malam, menyapu, memasak nasi, menyiram tanaman.
"Hmmm.... masih sepi." Kataku pada diriku sendiri.

Lantas akupun mengambil inisiatif, jalan-jalan pagi, keliling pasar keude Krueng Geukueh. Akupun berjalan santai, sambil meliha- lihat. Tak banyak yang berubah. Hanya satu dua toko yang baru dibangun. Selebihnya, bangunan lama !
Celingak celinguk mataku melihat ke kanan dan ke kiri, tak ada satu warga pun yang ku kenali. Malah, aku mencoba tersenyum pada Ibu-ibu pejalan kaki, eh, dia cuek aja. Lewat....
"Waduh... sombong-sombong amat sih... orang disini?" gerutu ku.
"Duh... kalian tau gak sih, di kota kecil ini nih, aku dibesarkan," teriakku dalam hati.

Sampai juga aku berjalan hingga lapangan bola kaki di Keude Krueng Geukueh. Aku melihat sekolah SD ku dari kejauhan. Ingin bertemu dengan guru semua, tapi, waktu belum masuk jam sekolah. Aku pun cemberut sambil berjalan pulang menuju ke rumah Sri. Ketika hampir sampai di rumahnya, di tengah jalan, aku bertemu dengan Dewi, yang sedang membonceng Pinte, keponakanku. Dewi bertanya.
"Kak Amna, kakak maunya makan apa? biar adik belikan"
"Gak usah beli apa-apa dik. Kan tadi, kakak juga udah siap masak pagi, kok"lanjutku sambil tersenyum.
"Hah.. kakak masak?" serunya terkejut.
"Iya, memangnya kenapa? biasa aja kali" sambungku.
"Duh.. jadi malu. Masak, tamunya memasak di rumah sahabatnya," katanya.
"Ya udah... pergi terus. Beli apa saja boleh,a salkan jangan pedas ya, Dik".
"Oke deh" sahutnya.

Dan akupun berjalan lagi, dan telah tiba di pintu gerbang rumah Sri, kulihat ada pohon besar yang mirip pohon apel. Aku penasaran ingin mengambil satu buah, tapi tak berani. Karena tak tau siapa pemilik pohon tersebut. Rupanya itu adalah buah beludru, kata sahabatku ini, buahnya tak boleh sembarangan dimakan, karena bisa keracunan atau gimana gitu, aku lupa apa yang dikatakannya.

"Waduh buk Amna. Kirain ente tersesat dimana, gitu." Kata Sri.
"Duh bu Sri. Amna udah pun jalan-jalan pagi keliling Krukueh. Penasaran buk. Gimana dengan perkembangan Krukueh sekarang. Setelah saya tinggalkan selama dua puluh tahun lebih." Ujarku pelan.
"Oh iya ya, saya lupa. Kamu kan, dibesarkan disini. Mana mungkin lah bisa tersesat ya buk," katanya sambil tertawa.
"Ya iya lah. Insya Allah buk, saya masih ingat." Kataku sambil berjalan ke dapur. Untuk mengambil segelas air putih.

Akupun kembali ke ruang tamu dan berkumpul bersama Sri bareng anak-anaknya. Dik Dewi pun telah pulang sambil membawa sarapan yang baru dibelinya. Dan, kamipun makan bersama. Aku mencicipi sedikit... busyet, pedasnya setengah mati. Lidahku panas, pedas, semuanya jadi satu. Air mataku menetes karena saking pedasnya. Dik Dewi pun tertawa melihat wajahku yang memerah bak kepiting rebus.
Ya,lengkaplah sudah penderitaan. Aku asli muntaber. Keluar masuk toilet.
Hehehehe....
***

Sehabis makan, kamipun mengobrol.
"Bu Amna, kemana rencana nya hari ini?"
"Hmm... ada rencana sih, mau ke Samudra Pasee, tapi Amna belum tau kapan bisanya, Bu" Sahutku.
"Gimana kalau kita pergi menjenguk si Cek Fit?" Kata Sri.
(Karena Cek fit adalah saudara dari pihak suami nya sahabat ku ini. Kalau aku memanggilnya dengan Dek Fit. Karena beliau adalah teman ku sewaktu di pengajian, kala kecil dulu)
"Cek fit, baru keluar dari rumah sakit, kemarin sore na, waktu na baru aja sampai ke rumah".
"Oh... boleh-boleh-boleh... yuk, kita jenguk dia." Sahutku dengan semangat.

Lalu kami pun bergantian mandi, di kamar mandi yang memang hanya satu satunya di rumah itu.
Sehabis mandi, kami pun berganti pakaian, dan diantar oleh Fikar,a dik sepupunya Sri. Dik Fikar ini, tangannya yang gemulai, hadeh, asli mirip dengan cewek .Ini anak pintar memasak, menyetrika, menari, semua pekerjaan wanita, dia jagonya. Saya sampai terheran-heran dibuatnya, dan ngakak habis.


                                                                            ***

Dek Fit, tinggal di daerah Bangka Jaya, Kecamatan Dewantara. Kami sampai disana pukul 14.00 siang.
Kami pun mengobrol dan kangen-kangenan. Berbincang tentang masa kecil kami yang indah, dan semuanya. Teman-teman kami yang telah berpencar entah dimana.

Sebelum pamit pulang, aku menyempatkan untuk berfoto bersama Dik Fitri, sahabat ku sejak kecil ini.

Aku dan Dik Fitri
(Adik litingku dan sahabatku di pengajian sewaktu kecil)
Menjenguk Dik Fitri di Bangka Jaya,Krueng Geukueh,Aceh Utara.
Aku,Dik Fitri,dan Sri Jarwati (sahabatku sejak SMP PALDA)
bersama ananda tercinta,Naya.


Setelah puas berbincang, aku pun lalu di antar lagi oleh Fikar, untuk keliling Kota kecil Krueng Geukueh. Kali ini, menuju ke rumah sahabatku sewaktu SMP, Herli Darlina. Wah, rasa rindu yang menggunung akhirnya meledak-ledaklah di rumah sahabatku yang selalu ceria ini. Ternyata dan ternyata,baru kuketahui, bahwa suaminya tercinta adalah sahabat kami juga sewaktu di SMP, yaitu Mirza. Kami semua berencana membuat acara kecil-kecilan, kejutan untuk para Alumni SMP NEGERI 6 LHOKSEUMAWE, setelah 17 tahun tak bersua.

Lalu, Sri menelepon semua nomor HP dari teman-teman yang tinggalnya di seputaran Lhokseumawe dan sekitarnya. Aku menunggu di rumah Herli, dan langsung melihat ke dapur, dan melihat ada beberapa kilo ikan lele yang baru selesai disiangi, dan beberapa bumbu dapur yang masih tergeletak seperti tak tersentuh.
"Item, ini ikan, mau di apakan, tem?" tanyaku pada Herli.
"Entahlah Na,Item juga gak tau mau diapakan. Karena Item gak bisa masak." Katanya malu-malu.
"Alamak, anakmu udah dua. Kok bisa sih?" tanyaku keheranan.
"Iya na, betul. Kalau gak percaya, tanya aja sama suamiku" lanjutnya sambil nyengir ke arah suaminya.
"Iya na. Tauk tuh, si Item taunya masak nasi sama rebus air aja, na" Sambung suaminya.
"Ya sudahlah, gak usah dibahas. Yang penting, hari ini kita masak bareng. Kalo gak ngerti, bisa Amna ajarin nanti dikit-dikit ya" Kataku sambil tertawa. Akhirnya kami semua tertawa geli. Dan memasak sambil bercerita.

Herli Darlina,dan suaminya Mirza

"Oke deh kalau begitu, Amna bikin kalasan saja ya, lele ini semua"
"Iya na, boleh-boleh-boleh." Jawab sepasang suami istri ini.
"Kalau begitu, kami ke pasar dulu sebentar ya na. Mau belanja bahan bikin mie aceh".
"Iya, boleh. Silahkan sob. Jangan lama-lama ya, tinggalin daku sendirian di rumah kalian yang luas ini." Sahutku bercanda.
"Oke deh Ibu koki." Jawab mereka sambil beringsut pergi.

Akupun langsung melanjutkan aktifitasku di dapur. Dengan sigap, aku langsung meracik semua bahan yang diperlukan, dan mulai memasak. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Dan aku hanya sendirian di rumah sahabatku itu. Wus, ada hawa sejuk di kudukku. Aku tak menghiraukannya. Sekelebat bayangan hadir di belakangku. Aku acuh tak acuh sambil terus menggoreng ikan.
Sedang asyik-asyiknya menggoreng, tiba-tiba muncullah sahabatku Sri Jarwati bersama Maysarah. May datang sambil membawa bakwan jagung yang telah digoreng di rumahnya, dan Sri datang sambil membawa buah-buahan dan barang lainnya.
"Hai, na. Sudah lama ya?" Sapa May sambil mencium pipi kiri dan kananku.
"Ya sudah lah. Ini pun, masaknya tinggal sedikit lagi"
"Alahay mak jaang. Ibu yang satu ini memang betul-betul cepat ya, kerjanya" Sambung Maysarah.
"Biasa aja kali. Nanti kupingku naik sepuluh meter, Bu." Candaku.

Dengan suka cita kami memasak, diiringi celotehan yang tiada henti dari para sahabat yang konyol.
Menjelang maghrib, tibalah tuan rumah. Kami semuanya bersorak sorai dengan kedatangan mereka, sekalian sahabat lain.
Sri Jarwati sedang membuat sambal kecap.


Sambil menunggu Sri membuat sambal kecap untuk ikan, aku dan Maysarahpun memulai meracik bumbu untuk membuat mie goreng Aceh. Wah, kami saling tukar resep masakan. Sahabatku yang satu ini, adalah penjual cendol yang sukses kini. Dan kami sama sama hobi memasak.
Aku dan Maysarah.

Duh,lucunya sahabatku ini.
Eh,dia malah pura pura tidur.
Athailah,sedang asyik mengobrol bersama Sri Jarwati.

Setelah semua menu masakan telah siap, kamipun menghidangkan ke atas meja. Sambil menunggu teman teman yang lain datang, kamipun sibuk dengan obrolan yang tak habis-habisnya. Satu persatu sahabat kami yang lain muncul. Awalnya, Suryansah yang hadir. Bersama istri dan anaknya. Lalu muncullah Athaillah.

Banyaknya pekerjaan yang dilakukan oleh sahabat, menjadikan banyak sahabatku yang lain tidak dapat hadir mengikuti reuni mendadak ini. Kamipun mulai makan malam bersama. Sambil tertawa bahagia, tanpa beban. Semua cerita mengenai masa-masa indah sewaktu di SMP dulu.

Dengan mimik serius,Athaillah sedang bercerita pada kami.

Suasana penuh canda menghiasi makan malam kami.
Di rumah Herli Darlina.
Wah,Bu Sri sempat sempatnya melirik kamera ya?

Sehabis kami makan, muncullah sahabatku yang terakhir, kalau tak salah namanya T.T Suhaimi.


Inilah sekilas perjalanan kecilku sewaktu di kota Petro Dolar, Juni 2014 lalu.

Ah, sahabatku...
Mengapa terlalu cepat waktu berlalu?
Seperti baru kemarin kita menjadi remaja.
Dengan segala kisah merah jambu dan semua haru biru.

Kini, ternyata umur kita semua telah kepala tiga lebih.
Dan telah memiliki keluarga masing masing.

Satu lagi kemesraan yang robek dalam gerimis.
Karena aku belum mencatatnya sebagai kenangan kita.

Teruntuk sahabatku semuanya,
Dimana saja kalian berada.

Alumni SLTP NEGERI 6 KRUENG GEUKUEH.

Salam Rindu, sahabatku.

Reuni Mengharukan Setelah 10 Tahun Tsunami

Wartawan BBC Andrew Harding kembali ke Aceh setelah 10 tahun bencana tsunami dan bertemu lagi dengan salah seorang anak korban tsunami, Mawardah Priyanka.



Sulit untuk mengenali Lhok Nga
Pohon-pohon telah tumbuh kembali. Saat dilihat dari jalan, desa kecil itu seperti tersembunyi di balik tirai tebal berwarna hijau. Ketika kami menghentikan kendaraan di daerah pinggiran, saya berdiri di tepi jalan di atas bukit sembari mencari wajah yang saya kenali–dan memikirkan betapa banyak perubahan yang terjadi.
Sepuluh tahun yang lalu, saya ingat situasinya sangat berbeda.

Beberapa hari setelah tsunami – ketika semuanya rata – dari sini Anda dapat melihat ke segala arah – termasuk laut, yang berjarak sekitar dua kilometer di bagian barat dan juga ibu kota Banda Aceh. Lumpur, puing, serta kesengsaraan ada di mana-mana. Para relawan mulai mencari jenazah, dan ratusan mayat terbaring di jalanan.

Reuni yang mengharukan

Di tenda darurat pengungsi yang didirikan dekat masjid, saya pertama kali bertemu dengan Mawardah Priyanka. Saat itu dia berusia 11 tahun, kelelahan, sangat kotor, dan sendirian. Kedua orangtuanya meninggal karena gelombang tsunami – yang diperkirakan setinggi 35 meter – menimpa rumah mereka di desa di pesisir Lampuuk.

Beberapa hari kemudian dia menemukan kakaknya, Mutiyah, 16 tahun, masih hidup.

Dalam beberapa bulan selanjutnya, saya tetap saling berkabar dengan dua bersaudara tersebut selagi mereka pindah ke tenda pengungsian, lalu ke tenda mereka sendiri, dan kemudian ke rumah baru yang dibangun oleh lembaga amal Oxfam. Mawardah kembali ke sekolah. Adapun Mutiyah menikah dan pindah. Kakak mereka yang lebih tua, Ita, pindah ke rumah mereka di Lhoknga.
Tetapi, selama delapan tahun, saya kehilangan kontak mereka.
Sulit bagi saya untuk menentukan arah ketika saya berjalan di tempat yang dulu sangat berlumpur. Sekarang di tempat itu ada jalan raya, dengan jembatan baru di atas sungai kecil. Di sebelah kanan, saya melihat bangunan rumah – sangat sederhana, berdinding kayu dan beratap seng. Seseorang berteriak bahwa ada orang asing datang, dan tiba-tiba sosok yang tinggi dengan berseri-seri dengan tergesa-gesa keluar dari rumah.
Reuni yang membahagiakan, mengharukan – dan sempat beberapa saat janggal – bagi kami berdua. Saya melihat bagaimana sosok Mawardah kecil telah berubah -tentu bertambah tinggi- dan betapa kehadiran saya berarti bagi dia dan bagi saudarinya Mutiyah yang tiba dari daerah lain, dua hari kemudian.
Saya merasa bersalah karena tidak berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengontak mereka kembali ketika jaringan asing mulai meninggalkan provinsi itu.
“Tidak ada yang peduli terhadap saya – tidak ada yang mencintai saya seperti orangtua saya,” kata Mawardah sambil menangis keesokan harinya.
Tsunami menghancurkan jejak orangtuanya – tidak tersisa foto ibu atau ayahnya. Sedangkan Ita harus menghidupi keluarga, seringkali meninggalkan Mawardah sendirian.
Rumah yang kosong
Tetapi kemudian, tampak jelas bahwa bencana yang menyapu kehidupan Mawardah, juga berdampak positif. Pada usia 21 tahun, dia menjadi sosok perempuan muda yang percaya diri, cerdas dan berambisi. Dia meraih sejumlah beasiswa dari perusahaan semen lokal (yang dibangun kembali setelah tsunami) dan kuliah jurusan bahasa Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta di Banda Aceh.

Selama dua hari, kami mengobrol di rumah kecilnya, berkunjung ke sekolah dan makan siang dengan teman-teman dekatnya, saya belajar lebih banyak tentang cobaan dan kompleksitas hidupnya, dan itu membawa saya memahami bahwa pengalaman Mawardah merupakan cerminan keadaan di Aceh dalam satu dekade setelah tsunami.

Di sana pertama kali dibangun rumah – satu dari 140.000 unit yang dibangun dengan bantuan dana internasional sebanyak US$ 7trilliun untuk Aceh. Rumah Marwadah dibangun dengan cepat dan atapnya tampak bocor, tembok tipis. Dan saya ingat sejumlah pertengkaran yang tidak pantas di awal masa pembangunan rumah-rumah untuk para korban tsunami yaitu mengenai keluarga mana yang akan memiliki hak atas rumah.

Tetapi, bangunan itu akhirnya sesuai dengan peruntukkannya, dan keluarga kemudian mengakui bahwa rumah mereka lebih baik dibandingkan yang mereka miliki sebelum 2004. Di tempat lain, banyak rumah tidak ditempati – bangunan itu dibangun di tengah kebingungan karena koordinasi yang buruk, dan seringkali bersaing antar lembaga bantuan, memiliki banyak uang dan terkadang lebih memikirkan menghabiskannya dengan cepat dibandingkan mengetahui keinginan komunitas lokal.

“Saya memberikan (skor untuk) upaya bantuan 65 (dari 100),” kata Muslahuddin Daud, seorang pejabat Bank Dunia yang hampir terkena tsunami. “Banyak yang tidak sempurna. Untuk US$ 7trilliun kami dapat melakukannya lebih baik dengan banyak cara. Banyak rumah-rumah kosong… berlebihan. Kami memiliki lebih dari 500 organisasi bantuan dan… banyak yang tumpang tindih.”
“Dan banyak uang bantuan asing dalam jangka panjang membuat orang jadi bergantung – dan mereka jadi malas. Pertumbuhan di Aceh masih mandeg – kemampuan untuk mengelola sumber daya tidak ada,” kata Daud.

Perempuan yang Kuat
Dan kemudian terjadi perdamaian. Sebelum tsunami, Aceh bergulat dengan kekerasan akibat pemberontakan. Meski masih berusia 11 tahun, Mawardah ingat kondisi tersebut berdampak pada semua orang, ketakutan, jalanan ditutup dan bentrokan yang terjadi di desa-desa.
Tetapi bencana kemudian membawa pembicaraan damai, dan saat ini provinsi ini terus mendapatkan manfaat dari kesepakatan otonomi yang mengakhiri konflik. Pemerintahan baru telah menerapkan elemen hukum Syariah- yang didukung banyak warga termasuk Marwadah.


Tetapi kritik mengatakan sejumlah hukuman tersebut mencederai hak asasi manusia. Meski jumlah investor asing yang meningkat, provinsi ini masih termasuk lambat dalam pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.


“Kami menyukai Syariah dan saya merupakan seorang Muslim yang taat,” kata Mawardah. Meski demikian, dia mengaku yakin bahwa petugas polisi Syariah seringkali bersikap “munafik”.

Suatu sore, kami mampir di kampus Mawardah di Banda Aceh tempat dia berlatih Thai kickboxing dengan sekelompok mahasiswa dan mahasiswa. “Dia mahasiswi yang bagus. Dia bekerja dan belajar dengan keras. Sebagai seorang perempuan, dia memiliki semangat seperti pria. Dia kuat. Dia tidak mudah menyerah,” kata guru bahasa Inggrisnya Maulizan Za.

Dia khawatir mengenai inflasi, tetapi – seperti banyak orang yang saya tanyai – mereka yakin bahwa hidup mereka lebih baik dan aman dibandingkan sebelum tsunami. “Teman saya merupakan keluarga saya sekarang,” kata Mawardah, setelah berlatih kickboxing dan bersiap kembali ke rumah dengan mengendarai motor saudarinya.

“Saya ingin menjadi seorang perempuan yang kuat. Setelah saya lulus saya akan kuliah di Amerika, dan bekerja sebagai seorang reporter. Saya merasa masa depan saya akan cerah,” kata dia mencerminkan kepercayaan diri.


BBC Indonesia, 22 Desember 2014